Minggu, 01 Desember 2013

Pesona Kota Singkawang

Pernah dengar kota Singkawang? Atau mungkin pernah berkunjung ke sana? Aku baru sekali ini melihat kota Singkawang. Kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat dan berjarak 145 Km di arah utara kota Pontianak itu dahulunya bernama San Kew Jong berasal dari bahasa Cina yang berarti kota di kaki gunung dekat muara dan laut.
Perjalanan darat menuju ke kota Singkawang dari Kota Pontianak memakan waktu antara 4 hingga 5 jam. Perjalananku dari Jakarta dimulai dari Bandara Sukarno Hatta Jakarta pada pukul 14.00 dengan pesawat Garuda menuju Bandara Supadio Pontianak. Waktu tempuh sekitar 1 jam 30 menit.

Jam 15.30 kami tiba di Bandara Supadio Pontianak. Ada tiga mobil yang menjemput dan akan mengantar kami hingga kami kembali ke Bandara ini esok lusa. Mobil sewaan itu telah dipesan beberapa hari sebelum kami tiba di sana.
Dari bandara, kami menuju kantor UPT setempat untuk menyelesaikan beberapa tugas sebelum memulai perjalanan menuju kota Singkawang. Sekitar pukul 5 sore semua tugas di Pontianak telah kami selesaikan, dan kamipun bersiap-siap memulai perjalanan menuju kota Singkawang.

Meskipun tidak ada perbedaan waktu dengan Jakarta, namun malam terasa datang lebih cepat di Kota ini. Suasana kota terasa lebih gelap pada pukul 6 sore dari pada suasana di kota Jakarta pada jam yang sama. Walhasil perjalanan dari Pontianak ke Kota Singkawang kami lewati dalam suasana malam yang lumayan gelap. Semula aku sempat berharap akan melewati perjalanan malam di kota ini dengan pemandangan indahnya kota yang dihias dengan gemerlap lampu jalan atau pertokoan di sana. Sayangnya, harapan itu jauh dari kenyataan. Kota-kota kecil yang kami lewati sepanjang perjalanan nampak gelap atau paling tidak temaram. Jarang kami bertemu dengan lampu jalan. Hanya beberapa tempat saja yang ada penerangan. Menurut informasi dari driver yang memang tinggal di sana, pemadaman bergilir hampir menjadi jadwal sehari-hari bagi mereka. Maka tidak heran kalau beberapa tempat terlihat tanpa penerangan sama sekali.

Beberapa jam setelah kami menyusuri jalanan kota itu, perut kami mulai berirama. Rasa lapar memanggil-manggil dengan nyaring. Maklum saja jarum jam di arloji kami menunjukan bahwa waktu makan malam sudah tiba. Atas rekomendasi sang driver, kami mampir ke restoran Pondok Kakap, restoran seafood yang cukup terkenal di kota itu.
Suasana retoran ini cukup nyaman. Kita bisa memilih tempat duduk. Tersedia kursi dengan meja panjang untuk keluarga atau rombongan, atau pondok-pondok lesehan di samping bangunan utama restoran itu. Agar lebih nyaman dan santai, kami memilih pondok lesehan.
Menu yang disajikanpun cukup beragam, namun semuanya berbahan dasar makanan laut (seafood). Ada cumi goreng, ada ikan kakap, udang asem manis, ada cah kangkung, tumis pakis, dan beberapa menu lain yang tidak sempat kami pesan. Satu minuman yang tak ketinggalan adalah es kelapa muda yang menutup santap makan malam kami di restoran itu.

Setelah irama di perut kami tak lagi terdengar alias kekenyangan, kami kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Musik yang mengalun lembut ditambah kondisi badan yang mulai lelah dan kenyang, membuat kami semua tak terasa mulai tertidur. Driver membangunkan kami setelah mobil sampai di salah satu kelenteng di kota Singkawang yaitu Kelenteng/Wihara Tri Dharma Bumi Raya untuk memberikan kesempatan kami berfoto di tempat itu.

Malam sudah larut saat kami tiba di kota Singkawang. Untunglah penginapan sudah dipesan sebelumnya, jadi kami tidak perlu lagi berputar-putar untuk mencari penginapan. Hotel Dangau Singkawang adalah pilihan penginapan kami malam itu. Di bawah cahaya malam yang temaram, tak banyak yang bisa kami lihat dari suasana Hotel Dangau. Apalagi perjalanan darat yang hampir 5 jam membuat kami terasa begitu lelah dan tidak sabar untuk segera merebahkan badan di peraduan.

Saat bangun pagi-pagi esok harinya, pemandangan pegunungan pagi terpampang indah di luar pintu kamarku. Kusapukan pandangan disekeliling hotel. Di belakang hotel ini terbentang sebuah bukit hijau yang menjulang menjadi latar indahnya hotel Dangau. Jalan yang kami lewati semalam ternyata adalah tepian kolam renang yang terlihat biru airnya ditempa cahaya matahari pagi.

Hotel Dangau Singkawang

Sajian akan indahnya pemandangan di sekitar hotel ini menarik langkahku ke sisi balkon tepat di atas kolam renang. Beberapa meter di depan balkon nampak wahana permainan air untuk anak-anak yang riuh dengan sura gelak mereka yang sedang bermain.


Matahari mulai beranjak semakin tinggi saat kami meneruskan perjalanan menuju pantai Tanjung Bajau. Kelelahan kami terbayar dengan pemandangan indah yang kami saksikan di tempat itu. Ada bianglala, ada satwa-satwa laut raksasa, beberapa ekor penguin dan penyu raksasa, kepiting raksasa, naga laut dan ada putri duyung yang cantik juga. Tapi jangan takut, itu hanya replika kok.

Di pantai ini, selain bisa menikmati indahnya pemandangan laut, kita bisa bermain banana speed boat yang mengajak kita bercanda dengan gelombang ombak yang berayun lembut sepanjang pantai. Sayangnya kameraku tertinggal, jadi hanya bisa mengambil beberapa gambar dengan telepon genggam.

Pantai Tanjung Bajau

Pantai Tanjung Bajau

Tak sekedar pemandangan pantai yang indah. Sisi lain pantai adalah bukit-bukit hijau yang berfungsi sebagai taman satwa Sinca Zoo. Jalanan menuju atas bukit berkelok dan menanjak. Sangat melelahkan jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Apalagi tempatnya cukup luas hingga ke puncak bukit.

Pemandangan dari atas bukit benar-benar menakjubkan. Sebelum mencapai bukit, sepanjang sisi jalanan yang kita lewati, beberapa kandang satwa melengkapi kawasan ini. Andai saja memungkinkan, rasanya tidak ingin beranjak dari atas bukit ini. Udara yang sejuk dan pemandangan bukit yang hijau dengan hamparan sungai di kaki bukitnya membuat fikiran dan perasaan terasa nyaman, relax dan tenang.

Gajah di Kebun Binatang Sinca Zoo

Persis seperti namanya Singkawang, kota ini berada di kaki gunung dan berhadapan dengan laut. Berada di antara gunung dan laut menyajikan sensasi hawa udara yang sejuk dengan hembusan angin yang bertiup kencang dari arah laut.

Sore hari setelah lelah berputar-putar di sekitar Pantai Tanjung Bajau, jadwal kami berikutnya adalah pulang kembali ke Pontianak. Dalam perjalanan pulang, selain tak lupa membeli cemilan pisang goreng Pontianak, kami sempatkan juga mampir ke Wihara Tri Dharma Bumi Raya yang menjadi iqon kota Singkawang. Wihara ini sangat indah pada malam hari dengan warna-warni lampu yang menghiasi bangunan. Area ini menjadi tempat wisata baik bagi masyarakat setempat ataupun orang-orang yang datang berkunjung ke kota Singkawang. Sayangnya saat pertama tiba di wihara ini pada malam sebelumnya, kami terlalu lelah dan mengantuk untuk berfoto-foto, jadi kami hanya menonton indahnya wihara ini dari dalam mobil.

Kota Singkawang dikenal sebagai Kota Seribu Kelenteng. Salah satu kelenteng yang terkenal adalah kelenteng/Wihara Tri Dharma Bumi Raya. Wihara/kelenteng ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Mulai dibangun pada tahun 1878, sebagai tempat peribadatan umat Tri Dharma tertua di Singkawang. Menurut kisahnya, dulu, saat Singkawang masih dikelilingi hutan belantara, kota ini menjadi tempat persinggahan orang Tionghoa yang ingin menambang emas di Monterado (sekarang Kabupaten Bengkayang). Dalam kepercayaan orang Tionghoa, setiap hutan memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan itu. Sebagai pelindung dari roh penjaga itu, dibangunlah kelenteng untuk peribadatan terhadap Dewa Bumi Raya (Tua Peh Kong). Konon Lie Shie tokoh agama terkemuka dari Tiongkoklah yang membawa patung Dewa Bumi Raya dari daratan Tiongkok dan membangun kelenteng itu.

Meski lelah, foto tetep...

Awalnya, wihara itu hanyalah pondok sederhana tempat transit orang dari luar Singkawang. Di sekeliling pondok terdapat tempat untuk menambatkan kuda. Baru sekitar tahun 1920, pondok dirobohkan dan dibangun wihara yang lebih permanen. Saat kebakaran besar melanda kota Singkawang tahun 1930, wihara itu habis terbakar, dan baru dibangun lagi tiga tahun kemudian.

Pembangunan kembali wihara ini sempat mendapat tentangan penguasa Belanda di Singkawang. Menurut cerita, penguasa Belanda bersedia memberi izin setelah mendapat mimpi dari Tua Peh Kong.

Patung Tua Peh Kong dan istrinya yang selamat dari kebakaran, dipasang di wihara baru ini. Di kiri kanan mereka terletak patung dewa Kok Sin Bong dan On Chi Siu Bong, sedangkan di bagian tengah terdapat patung Budha Gautama. Menurut pendiri Yayasan Wihara Tri Dharma Bumi Raya, yang membedakan wihara ini dengan wihara lain adalah keberadaan Ru Yi atau symbol kekuasaan dan keberuntungan di tangan kanan patung Tua Peh Kong.

Tiap Imlek dan Cap Go Meh, wihara ini didatangi ribuan umat Tri Dharma. Mereka tidak hanya datang dari Singkawang, tetapi juga dari kota lain di Kalimantan Barat dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti kami yang datang dari Jakarta.

beberapa informasi tentang Wihara Tri Dharma Bumi Raya diambil dari buku ini

2 komentar: