Minggu, 01 Desember 2013

Pesona Kota Singkawang

Pernah dengar kota Singkawang? Atau mungkin pernah berkunjung ke sana? Aku baru sekali ini melihat kota Singkawang. Kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat dan berjarak 145 Km di arah utara kota Pontianak itu dahulunya bernama San Kew Jong berasal dari bahasa Cina yang berarti kota di kaki gunung dekat muara dan laut.
Perjalanan darat menuju ke kota Singkawang dari Kota Pontianak memakan waktu antara 4 hingga 5 jam. Perjalananku dari Jakarta dimulai dari Bandara Sukarno Hatta Jakarta pada pukul 14.00 dengan pesawat Garuda menuju Bandara Supadio Pontianak. Waktu tempuh sekitar 1 jam 30 menit.

Jam 15.30 kami tiba di Bandara Supadio Pontianak. Ada tiga mobil yang menjemput dan akan mengantar kami hingga kami kembali ke Bandara ini esok lusa. Mobil sewaan itu telah dipesan beberapa hari sebelum kami tiba di sana.
Dari bandara, kami menuju kantor UPT setempat untuk menyelesaikan beberapa tugas sebelum memulai perjalanan menuju kota Singkawang. Sekitar pukul 5 sore semua tugas di Pontianak telah kami selesaikan, dan kamipun bersiap-siap memulai perjalanan menuju kota Singkawang.

Meskipun tidak ada perbedaan waktu dengan Jakarta, namun malam terasa datang lebih cepat di Kota ini. Suasana kota terasa lebih gelap pada pukul 6 sore dari pada suasana di kota Jakarta pada jam yang sama. Walhasil perjalanan dari Pontianak ke Kota Singkawang kami lewati dalam suasana malam yang lumayan gelap. Semula aku sempat berharap akan melewati perjalanan malam di kota ini dengan pemandangan indahnya kota yang dihias dengan gemerlap lampu jalan atau pertokoan di sana. Sayangnya, harapan itu jauh dari kenyataan. Kota-kota kecil yang kami lewati sepanjang perjalanan nampak gelap atau paling tidak temaram. Jarang kami bertemu dengan lampu jalan. Hanya beberapa tempat saja yang ada penerangan. Menurut informasi dari driver yang memang tinggal di sana, pemadaman bergilir hampir menjadi jadwal sehari-hari bagi mereka. Maka tidak heran kalau beberapa tempat terlihat tanpa penerangan sama sekali.

Beberapa jam setelah kami menyusuri jalanan kota itu, perut kami mulai berirama. Rasa lapar memanggil-manggil dengan nyaring. Maklum saja jarum jam di arloji kami menunjukan bahwa waktu makan malam sudah tiba. Atas rekomendasi sang driver, kami mampir ke restoran Pondok Kakap, restoran seafood yang cukup terkenal di kota itu.
Suasana retoran ini cukup nyaman. Kita bisa memilih tempat duduk. Tersedia kursi dengan meja panjang untuk keluarga atau rombongan, atau pondok-pondok lesehan di samping bangunan utama restoran itu. Agar lebih nyaman dan santai, kami memilih pondok lesehan.
Menu yang disajikanpun cukup beragam, namun semuanya berbahan dasar makanan laut (seafood). Ada cumi goreng, ada ikan kakap, udang asem manis, ada cah kangkung, tumis pakis, dan beberapa menu lain yang tidak sempat kami pesan. Satu minuman yang tak ketinggalan adalah es kelapa muda yang menutup santap makan malam kami di restoran itu.

Setelah irama di perut kami tak lagi terdengar alias kekenyangan, kami kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Musik yang mengalun lembut ditambah kondisi badan yang mulai lelah dan kenyang, membuat kami semua tak terasa mulai tertidur. Driver membangunkan kami setelah mobil sampai di salah satu kelenteng di kota Singkawang yaitu Kelenteng/Wihara Tri Dharma Bumi Raya untuk memberikan kesempatan kami berfoto di tempat itu.

Malam sudah larut saat kami tiba di kota Singkawang. Untunglah penginapan sudah dipesan sebelumnya, jadi kami tidak perlu lagi berputar-putar untuk mencari penginapan. Hotel Dangau Singkawang adalah pilihan penginapan kami malam itu. Di bawah cahaya malam yang temaram, tak banyak yang bisa kami lihat dari suasana Hotel Dangau. Apalagi perjalanan darat yang hampir 5 jam membuat kami terasa begitu lelah dan tidak sabar untuk segera merebahkan badan di peraduan.

Saat bangun pagi-pagi esok harinya, pemandangan pegunungan pagi terpampang indah di luar pintu kamarku. Kusapukan pandangan disekeliling hotel. Di belakang hotel ini terbentang sebuah bukit hijau yang menjulang menjadi latar indahnya hotel Dangau. Jalan yang kami lewati semalam ternyata adalah tepian kolam renang yang terlihat biru airnya ditempa cahaya matahari pagi.

Hotel Dangau Singkawang

Sajian akan indahnya pemandangan di sekitar hotel ini menarik langkahku ke sisi balkon tepat di atas kolam renang. Beberapa meter di depan balkon nampak wahana permainan air untuk anak-anak yang riuh dengan sura gelak mereka yang sedang bermain.


Matahari mulai beranjak semakin tinggi saat kami meneruskan perjalanan menuju pantai Tanjung Bajau. Kelelahan kami terbayar dengan pemandangan indah yang kami saksikan di tempat itu. Ada bianglala, ada satwa-satwa laut raksasa, beberapa ekor penguin dan penyu raksasa, kepiting raksasa, naga laut dan ada putri duyung yang cantik juga. Tapi jangan takut, itu hanya replika kok.

Di pantai ini, selain bisa menikmati indahnya pemandangan laut, kita bisa bermain banana speed boat yang mengajak kita bercanda dengan gelombang ombak yang berayun lembut sepanjang pantai. Sayangnya kameraku tertinggal, jadi hanya bisa mengambil beberapa gambar dengan telepon genggam.

Pantai Tanjung Bajau

Pantai Tanjung Bajau

Tak sekedar pemandangan pantai yang indah. Sisi lain pantai adalah bukit-bukit hijau yang berfungsi sebagai taman satwa Sinca Zoo. Jalanan menuju atas bukit berkelok dan menanjak. Sangat melelahkan jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Apalagi tempatnya cukup luas hingga ke puncak bukit.

Pemandangan dari atas bukit benar-benar menakjubkan. Sebelum mencapai bukit, sepanjang sisi jalanan yang kita lewati, beberapa kandang satwa melengkapi kawasan ini. Andai saja memungkinkan, rasanya tidak ingin beranjak dari atas bukit ini. Udara yang sejuk dan pemandangan bukit yang hijau dengan hamparan sungai di kaki bukitnya membuat fikiran dan perasaan terasa nyaman, relax dan tenang.

Gajah di Kebun Binatang Sinca Zoo

Persis seperti namanya Singkawang, kota ini berada di kaki gunung dan berhadapan dengan laut. Berada di antara gunung dan laut menyajikan sensasi hawa udara yang sejuk dengan hembusan angin yang bertiup kencang dari arah laut.

Sore hari setelah lelah berputar-putar di sekitar Pantai Tanjung Bajau, jadwal kami berikutnya adalah pulang kembali ke Pontianak. Dalam perjalanan pulang, selain tak lupa membeli cemilan pisang goreng Pontianak, kami sempatkan juga mampir ke Wihara Tri Dharma Bumi Raya yang menjadi iqon kota Singkawang. Wihara ini sangat indah pada malam hari dengan warna-warni lampu yang menghiasi bangunan. Area ini menjadi tempat wisata baik bagi masyarakat setempat ataupun orang-orang yang datang berkunjung ke kota Singkawang. Sayangnya saat pertama tiba di wihara ini pada malam sebelumnya, kami terlalu lelah dan mengantuk untuk berfoto-foto, jadi kami hanya menonton indahnya wihara ini dari dalam mobil.

Kota Singkawang dikenal sebagai Kota Seribu Kelenteng. Salah satu kelenteng yang terkenal adalah kelenteng/Wihara Tri Dharma Bumi Raya. Wihara/kelenteng ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Mulai dibangun pada tahun 1878, sebagai tempat peribadatan umat Tri Dharma tertua di Singkawang. Menurut kisahnya, dulu, saat Singkawang masih dikelilingi hutan belantara, kota ini menjadi tempat persinggahan orang Tionghoa yang ingin menambang emas di Monterado (sekarang Kabupaten Bengkayang). Dalam kepercayaan orang Tionghoa, setiap hutan memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan itu. Sebagai pelindung dari roh penjaga itu, dibangunlah kelenteng untuk peribadatan terhadap Dewa Bumi Raya (Tua Peh Kong). Konon Lie Shie tokoh agama terkemuka dari Tiongkoklah yang membawa patung Dewa Bumi Raya dari daratan Tiongkok dan membangun kelenteng itu.

Meski lelah, foto tetep...

Awalnya, wihara itu hanyalah pondok sederhana tempat transit orang dari luar Singkawang. Di sekeliling pondok terdapat tempat untuk menambatkan kuda. Baru sekitar tahun 1920, pondok dirobohkan dan dibangun wihara yang lebih permanen. Saat kebakaran besar melanda kota Singkawang tahun 1930, wihara itu habis terbakar, dan baru dibangun lagi tiga tahun kemudian.

Pembangunan kembali wihara ini sempat mendapat tentangan penguasa Belanda di Singkawang. Menurut cerita, penguasa Belanda bersedia memberi izin setelah mendapat mimpi dari Tua Peh Kong.

Patung Tua Peh Kong dan istrinya yang selamat dari kebakaran, dipasang di wihara baru ini. Di kiri kanan mereka terletak patung dewa Kok Sin Bong dan On Chi Siu Bong, sedangkan di bagian tengah terdapat patung Budha Gautama. Menurut pendiri Yayasan Wihara Tri Dharma Bumi Raya, yang membedakan wihara ini dengan wihara lain adalah keberadaan Ru Yi atau symbol kekuasaan dan keberuntungan di tangan kanan patung Tua Peh Kong.

Tiap Imlek dan Cap Go Meh, wihara ini didatangi ribuan umat Tri Dharma. Mereka tidak hanya datang dari Singkawang, tetapi juga dari kota lain di Kalimantan Barat dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti kami yang datang dari Jakarta.

beberapa informasi tentang Wihara Tri Dharma Bumi Raya diambil dari buku ini

Minggu, 10 November 2013

Momen Kembali ke Jogja

Yogyakarta. Mengucapkan nama kota itu menghadirkan nuansa rindu yang mengetuk-ngetuk hati. Kota dimana aku menemukan masa-masa remaja yang ceria, masa-masa kuliah yang dinamis saat idealisme menjadi tuan di ruang pikirku. Yah, di kota itu aku menemukan cinta pertama, pacar pertama dan kisah asmara pertama yang terangkai dalam jalinan waktuku.

Masih jelas tergambar di lorong-lorong ingatanku, akhir kisahku di kota ini. Sematan gelar master dari universitas ternama di Jogja menjadi batas akhir waktuku di kota ini. Satu bagian hidup yang membuatku bangga saat harus pergi dari kota yang telah menghadirkan banyak kenangan.
Namun satu bagian hidupku yang lain harus kandas bersamaan dengan luruhnya jalinan cinta yang ditempa perbedaan budaya dan latar belakang sosial. Dua hal yang kontradiktif dalam satu bingkai waktu. Hujan gerimis yang nyaris tak berhenti sepanjang hari itu, seolah menjadi back song dari kedua rasa berbeda yang berbaur dan mengaduk-aduk pikiran dan perasaan yang mengiringi perjalanan pulangku.

Delapan tahun lebih kisah itu telah berlalu. Dengan kesibukanku sebagai karyawan pemerintah, hampir tak ada waktu untuk berkunjung di kota itu. Meski sering ditugaskan keluar kota, tapi kesempatan untuk tugas luar ke Jogja hampir tidak pernah datang padaku. Tapi akhirnya kesempatan tugas ke Jogja datang juga padaku. Walaupun hanya dua hari, cukuplah mengobati sedikit rindu pada bilah-bilah anyaman masa lalu.

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja




Lagu Katon Bagaskara itu serasa menggema di langit-langit benakku saat kakiku menjejak kembali di kota pelajar ini. Ada rasa haru yang menghentak-hentak kalbu, ada lintasan kenangan yang berkelebat, ada rasa rindu pada teman-teman lama yang entah tersebar ke penjuru mana saja mereka kini.
Dulu, bersama teman-teman aku sering menyusuri jalan-jalan kota itu dengan sepeda motor, dengan bis kota atau olahraga pagi sepanjang jalan Solo sampai perempatan sebelum jalan Sudirman. Sekarang aku seperti mengulang lagi kenangan itu. Dengan mobil jemputan dari kantor, kami menyusuri jalan-jalan di Jogja dan menyaksikan perkembangan kota itu. Beberapa tempat nampak telah berubah, namun suasana kota ini masih sama seperti sembilan tahun silam. Tugu sebagai ikon kota ini dan jalan Malioboro sebagai kawasan perdagangan, masih tetap sama seperti dulu.


sumber foto : www.wikimapia.org

Yogyakarta berhati Nyaman. Itulah semboyan kota itu, tapi bagiku tidak sekedar semboyan, karena aku benar-benar merasa nyaman walau hanya beberapa jam berada di kota itu. Atau…semboyan itulah yang memberiku sugesti untuk merasa nyaman? Entahlah. Yang pasti, kembali ke Jogja rasanya hampir sama seperti pulang ke kampung halaman.
Jalanan lengang dan bebas macet mengiringi perjalananku siang itu dari Bandara menuju Kantor. Dari kantor kami menuju kawasan Malioboro untuk mencari penginapan. Sengaja mencari penginapan di kawasan ini agar waktu yang sedikit tersisa di luar tugas, dapat kami manfaatkan maksimal untuk jalan-jalan di Pasar Beringharjo dan sepanjang jalan Malioboro.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada, siang hari usai shalat dhuhur, kami berjalan-jalan berkeliling Pasar Beringharjo dan berburu pakaian batik dengan harga murah di kawasan ini.


sumber foto : www. wisatamelayu.com

Puas berkeliling Pasar Beringharjo, kami istirahat di hotel sejenak, hingga usai shalat magrib dan saatnya kami harus mencari makan malam. Untuk melengkapi nuansa jogjanya, kami sengaja mencari makan malam ala lesehan Malioboro, sambil melihat-lihat suasana malam di Malioboro.
Meski bertahun-tahun di Jogja, aku hampir tidak pernah melihat suasana malam di Malioboro, karena tempat kost ku dulu lumayan jauh dari kawasan ini. Lagi pula transportasi umum di Jogja hanya sampai jam 7 malam.

Semarak malam di Malioboro membuat hasrat jalan-jalanku kembali menggebu. Yah, pasti Malioboro dimalam hari lebih indah daripada siang hari. Sepanjang trotoar jalan para pedagang menjajakan aneka dagangannya. Jika kita pandai menawar dan beruntung, kita akan mendapatkan barang-barang dengan harga yang sangat murah. Biasanya mereka menawarkan harga dua kali lipat dari harga aslinya. So pandai-pandailah menawar jika hendak berbelanja di tempat ini.




Soal kualitas barang? Wah tak kalah deh dengan kualitas barang di tempat lain. Baju batik, sandal, kaos dengan aneka tulisan lucu khas Jogja, asesoris, kerajinan tangan dan masih banyak lagi benda-benda lucu dan menarik di tempat ini.





Oya, walaupun kita asik berbelanja, tapi jangan lupa berbagi ya? karena di kawasan ini kita akan sering bertemu dengan mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. jadi uangnya jangan dihabiskan buat belanja semua, tapi sisihkan buat mereka...



Minggu, 16 Juni 2013

Tembilahan Kota Seribu Jembatan

Kali ini aku punya kesempatan untuk bertugas ke Tembilahan. Perjalanan memakan waktu 9 jam menuju kota ini. Setelah hampir dua jam perjalanan udara dari Bandara Sukarno-Hatta menuju Bandara Sultan Syarif Kasim II, perjalanan dilanjutkan dari Pekanbaru menuju Tembilahan sekitar 7 jam. Yah, lumayan jauh untuk perjalanan darat. Meski perjalanan kali ini cukup jauh dan lama, tapi aku mencoba menikmatinya dengan mencari hal-hal baru yang aku lihat dalam perjalanan menuju Tembilahan. Perjalanan panjang ini benar-benar menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Jika kita melihat jauh ke depan melalui kaca mobil, akan terbentang jalan panjang yang naik turun membentuk gunung dan lembah. Kanan dan kiri jalan, pohon sawit dan pohon kelapa membentuk barisan yang memagari kebun dan menjadi pembatas dengan jalanan yang lebar dan lengang. Awalnya, aku bingung kenapa kota Tembilahan dikenal dengan kota seribu jembatan. Namun ketika perjalanan sudah melewati Rengat dan memasuki Indragiri Hilir, pemandangan di depanku menyodorkan bukti kebenaran semboyan itu. Walaupun mungkin tidak persis berjumlah seribu, namun hampir setiap selang beberapa meter, mobil kami melintasi bangunan jembatan. Baru setengah jam perjalanan memasuki kota ini, aku berhasil menghitung seratus buah jembatan yang terlewati. Salah satu jembatannya dikenal dengan nama Jembatan Rumbai. Sumber Foto : http://id.wikipedia.org/wiki/Tembilahan,_Indragiri_Hilir Tapi kenapa ya, daerah ini harus dipasangi ratusan jembatan? Saat kutanyakan hal ini, seseorang yang sudah seringkali datang ke kota ini dan nampaknya tahu betul daerah tersebut mengatakan bahwa jembatan itu dibangun untuk menyeberangi sungai. Sungai? Mana ya? Ah ya, benar! di hampir setiap jembatan yang kami lalui, selalu ada sungai kecil atau sungai besar yang mengalir di bawahnya. Mungkin selain disebut kota seribu jembatan pantas juga disebut kota seribu sungai, ya? Dan ternyata, di sungai-sungai inilah saat hari beranjak sore, ada pemandangan unik yang kita temui di sepanjang perjalanan. Di kanan atau kiri jalan, mata kita akan disuguhi pemandangan yang membuat kita mengernyitkan dahi. Beberapa orang penduduk mandi di sungai berlumpur. Iih…, pasti menggelikan, banyak kuman-kuman atau mungkin cacingnya! Atau kalau ada ular yang datang dari semak-semak di pinggir sungai gimana? Menurut info Wikipedia, memang keadaan tanah daerah ini sebagian besar terdiri dari tanah gambut dan endapan sungai serta rawa-rawa. Jadi hampir sebagian besar airtanahnyapun berwarna seperti lumpur. Tapi, Yang uniknya lagi, walaupun mereka mandi di air lumpur, tapi para gadis di sini memiliki kulit yang halus dan bersih. Kenapa ya? setelah aku googling, ternyata menurut peneliti ahli kecantikan, lumpur merupakan hasil erosi dasar laut selama ribuan tahun yang kemudian mengendap di dasar sungai, danau, atau lautan. Karena lumpur ini berasal dari perut bumi, kandungan mineral yang diperlukan oleh tubuh pun cukup tinggi (http://www.pesona.co.id). Dan sekarang, di tempat-tempat perawatan kecantikan, lumpur digunakan sebagai media spa untuk mendapatkan kulit yang segar dan cantik. Biasanya lumpur dibalurkan keseluruh tubuh, lalu di gunakan media panas untuk mengeluarkan racun-racun tubuh. Setelah itu kulit akan terasa segar dan cantik. Jadi, wajar saja para gadis Tembilahan berkulit halus dan bersih karena hampir setiap hari mereka mandi lumpur di sungai yang mungkin juga memiliki kandungan mineral yang tinggi. Kembali ke cerita perjalanan ya? Karena sebagaian besar daerahnya terdiri dari rawa-rawa, maka struktur tanahnya menjadi tidak stabil. Setiap kali setelah melewati jembatan, mobil terasa oleng karena melewati cekungan. Cekungan Itu terbentuk akibat tanah disekitarnya mengalami pergeseran atau berpindah, sehingga jalan-jalan yang berada di atas tanah tersebut mudah sekali retak dan rusak. Karena itulah, meski waktu tempuhnya sangat panjang, tapi jangan berharap bisa tidur di perjalanan. Selain keunikan topografinya, Tembilahan memiliki hasil alam yang membuat kehidupan perekonomian penduduknya lebih mapan. Hasil kebun mereka selain sawit, kelapa dan buah pinang, beberapa buah-buahan juga dihasilkan dari tanah rawa-rawa itu. Ditambah lagi dengan usaha budidaya burung Walet yang harganya mencapai 20 juta satu kilonya. Wow, pasti penduduk di sini kaya raya ya? Bagaimana tidak? lihatlah gedung-gedung bertingkat yang banyak kita temui sepanjang jalan atau ditengah kota Tembilahan! Kalau di Jakarta atau kota lain, gedung bertingkat biasanya berfungsi sebagai perkantoran, ruko atau apartemen. Tapi disini, gedung bertingkat berfungsi sebagai rumah burung Walet. Yah, gedung yang penuh dengan lubang berdiameter sekitar 10 sampai 15 sentimeter itu dipenuhi dengan suara cicit burung Walet yang ditirukan dari perekam dan disambungkan pada pengeras suara. Tujuannya untuk mengundang burung-burung yang lain agar bersarang di tempat itu. Pada malam hari, saat kita berjalan-jalan mengelilingi kota itu, suara cicitan burung Walet memenuhi udara ruang kota. Seakan-akan langit kota Tembilahan dipenuhi ribuan burung Walet yang beterbangan. Suasana itu menghadirkan kesan lain. Suara riuh burung-burung Walet itu seperti menemaniku. Terasa ramai dan menenangkan. Kota Tembilahan malam itu semakin semarak dengan pedagang dadakan yang mulai menggelar lapaknya setelah azan magrib. Mereka menjual barang-barang seperti sepatu, baju, asesoris dan pernik-pernik lain. Seperti pasar malam… Pagi hari usai shalat shubuh, aku segera membuka jendela. Rupanya penginapan kami dikelilingi gedung-gedung bertingkat yang berfungsi sebagai sarang burung Walet. Di langit pagi yang cerah, burung-burung kecil itu beterbangan keluar masuk dari lubang-lubang di dinding-dinding gedung itu. Wow… indah sekali! itu adalah pemandangan langka yang tidak pernah aku temui di kota besar seperti Jakarta.

Sabtu, 04 Mei 2013

Kecantikan Wanita Indonesia, Kecantikan Sariayu

Sariayu




Kamu seorang perempuan dan ingin cantik? Kecantikan sejati adalah kecantikan yang terpancar dari penampilan dan kepribadian, atau kecantikan Inner dan auter. Dalam instilah Mba Dewi dari Sariayu Martha Tilaar di Acara Workshop Media Sosial Be Smart Blogger di Arion Swiss Bellhotel Kemang Jakarta tanggal 4 Mei 2013, kecantikan inner dan auter ini disebut dengan Rupasampat Wahyabhiantara yang dilambangkan dengan Dewi Saraswati. Dewi Saraswati membawa unsur-unsur antara lain: daun lontar yang mengandung makna pintar, sitar yang bermakna tutur kata yang sopan, bunga yang berarti cantik, tasbih yang bermakna memiliki komunikasi yang baik dengan Tuhan dan teratai yang bermakna kemapuan beradaptasi.
Boleh disimpulkan, kecantikan perempuan sejati sesuai lambang Dewi Saraswati berarti perempuan yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan memiliki kecerdasan social.
Kecantikan lahir hadir dari proses perawatan yang tepat dengan pilihan produk yang tepat. Produk yang sesuai dengan kondisi alam dan budaya Indonesia adalah Sariayu dari Martha Tilaar Group. Produk Sariayu sesuai untuk wanita Indonesai karena diramu dari bahan-bahan alami tanaman Indonesia yang terinspirasi dari keragaman budaya dan etnik Indonesia. 
Sesuai dengan misinya mempercantik wanita Indonesia, Sariayu menciptakan produk untuk make up, perawatan wajah, Bath & Body, perawatan rambut, suplemen dan vitamin.


Rabu, 04 Januari 2012

Various Picture Book Class


Various Picture Book Class
Suka menulis? Ingin belajar menulis tanpa keluar rumah?
Belum kuat menulis dengan nafas panjang? hehehe, maksudnya menulis cerita pendek gitu :)
Jangan takut, ada kelas menulis untuk pemula.
Kami (Shinta Handini, Indah Juli dan Nelfi Syafrina) akan membuka kelas menulis picture book online.
Untuk itu kami mengajak teman-teman untuk bergabung di Various Picture Book Class.
Karena tempat terbatas, peserta akan diseleksi. Dan,  akan memberikan beasiswa bagi 9 orang yang memenuhi syarat.
Bagaimana caranya?
  1. Tulis alasanmu ingin menulis picture book dalam 200 karakter.
  2. Kirim ke nelfisyafrina@rocketmail.com dengan subjek Various Picture Book Class
  3.  Ditunggu hingga tanggal: 5 Januari 2012 jam 24.00.
Kelas dimulai tanggal :
9 Januari 2012 → setiap hari Senin selama bulan Januari 2012.
So don’t miss it!

Gratis! Belajar Menulis Cerita Anak Selama 1 Bulan!

Ingin menulis cerita anak tapi belum tahu caranya?

Yuk ikuti pelatihan menulis cerita anak secara online bersama:

Pelatihan ini akan diadakan selama sebulan dan GRATIS.

Silakan kirimkan sinopsis (atau ide) cerita ke kampret.kurimat@gmail.com sebelum tanggal 9 Januari 2012. Peserta pelatihan akan dihubungi pada tanggal 12 Januari, 2012.